Tuesday, December 2, 2008

Kebaktian Full Band di HKBP

By: Gerda Silalahi
Lama tak mengikuti kebaktian pukul 18.00 di gerejaku semasa belum menikah: HKBP Jalan Soeprapto. Mungkin sudah lebih dari 5 tahun aku tidak pernah kebaktian sore disini. Sejak menikah, langsung hamil, dan sibuk ngurus Belle. Aku sempat cuti main organ 2 tahun, dan lebih sering ikut kebaktian pagi atau di GPIB tempat Noldy dan aku diberkati dan terdaftar sebagai jemaat. Kembali lagi main organ di HKBP, hanya untuk kebaktian pukul 09.30, kebaktian yang berbahasa batak, maklum sebagai anak Tarutung, aku lebih mahir berbahasa batak dan terutama aku lebih terbiasa mengiringi lagu2 dari buku ende bahasa batak.
Minggu kemarin, aku dan Noldy bersama Belle memutuskan mengikuti kebaktian sore di HKBP . Setibanya di gereja, sudah agak telat, pukul 18.03. Kami langsung dikagetkan dengan hingar bingar iringan band mengiringi lagu persekutuan yang bertempo cepat. Wah, wah..., rasanya aneh banget. Memang sudah berapa tahun belakangan gerejaku ini memakai iringan band untuk kebaktian anak muda, pukul 18.00 sore. Lengkap pula dengan screen besar di depan untuk menayangkan lirik lagu yang sedang dinyanyikan.
Hatiku campur aduk, baru kusadari ternyata aku belum siap menerima perubahan drastis ini. Bahkan GPIB dan GKI yang mungkin lebih 'terbuka pada perubahan' dibanding HKBP yang sering dianggap gereja tua dan old fashion banget, belum menerapkan iringan full band seperti ini. Kembali terkenang heningnya beribadah di HKBP Pusat Pearaja Tarutung dan HKBP Kota Tarutung. Hingga ada istilah ibarat sebuah kancing peniti jatuh, pasti akan terdengar jelas saking hening dan hikmatnya. Ketika bernyanyi, yang mengiringi jemaat bernyanyi hanya poti marende (organ) yang entah kenapa mendengar suaranya saja kita bisa merinding. Aku merasa beruntung pernah mengalami masa-masa itu, merasakan menjadi pemain organ saat itu, sejak umur 12 tahun, bahkan saat kakiku belum bisa menginjak pedalnya. Adalah Amang guru Limbong, bapaknya Gloria Limbong yang menginjak pedal suara dan pedal bas itu untukku. Amang yang sabar mengajar aku bermain organ ini selalu duduk di belakangku, menemani aku bermain organ. Ketika tiba waktunya membacakan warta jemaat alias tingting, Amang Limbong akan muncul dari belakangku berjalan ke arah mimbar.
Aku bahkan baru 'mengenal' dan berpartner dengan piano sebagai pengiring jemaat bernyanyi baru berapa tahun lalu disini. Awalnya berasa sama saja, tapi semakin lama semakin indah. Mungkin karena kami sudah semakin harmonis dan adik-adikku para pemain piano yang sudah semakin mahir berimprovisasi. Sekarang aku malah merasa tanpa piano, bermain organ di HKBP rasanya seperti memasak tanpa garam.
Namun ternyata mendengar hingar bingar mendengar iringan full band untuk lagu persekutuan di ibadah HKBP, aku belum siap. Rasanya tidak rela melihat HKBPku berubah demikian drastisnya. Memang benar, sejak ada iringan band ini aku sering mengamati di warta jemaat, anak muda yang mengikuti kebaktian sore semakin ramai. Dari hanya 400, sekarang mencapai 700 orang. Juga pada hari ini, aku mendapat tempat duduk paling belakang saking penuhnya. Mobil pun harus diparkir jauh di luar halaman gereja. Suatu kondisi yang tidak pernah terjadi ketika belum ada iringan band, biasanya hanya terjadi pada saat Natal dan hari besar gereja lainnya.
Yang menarik buatku menyaksikan Amang yang par Agenda bertepuk tangan dengan semangat di depan, beberapa sintua dan jemaat juga bertepuk tangan mengikuti lagu. Wah, terobosan luar biasa. Memang belum semua jemaat tepuk tangan, termasuk aku dan Noldy. Aku masih berasa canggung, berasa seperti bukan di HKBP. Sekali-sekali aku memang mengikuti kebaktian persekutuan di kantor maupun di Glow Fellowshipnya Pdt. Gilbert Lumoindong, disana aku bertepuk tangan tanpa sungkan. Memang ini tempat bertepuk tangan sambil bernyanyi pikirku.
Setelah introitus, masuk lagu kedua dst, semua memakai lagu Kidung Jemaat (KJ). Lagu bertempo sedang, diiringi band dengan tempo yang tepat. Wah, ini baru cocok nih buatku. Ternyata iringan band itu tidak selalu hingar bingar seperti lagu2 di persekutuan. Jika lagunya diambil dari KJ, rasanya tidak berisik dan masih berasa HKBPnya. Apalagi ketika Koor Ina menyanyikan lagunya dengan kekhasannya : lambat, singil, nada dan tempo tidak padu. Langsung berasa kembali ke HKBP totok :)
Ini minggu pertama Amang Pdt Bakara sebagai pendeta resort yang baru bertugas menggantikan Amang Pdt Ramlan Hutahaean yang sekarang menjadi Sekjen HKBP. Kotbahnya mengenai ibadah dan persembahan. Lumayan bagus menurutku. Sepertinya amang ini cukup berwawasan dan bisa membawakan kotbah dengan cukup menarik.
Ketika pulang, aku bersalaman dengan Amang Sintua Tambunan yang sebelumnya menjabat Ketua Dewan Musik sebelum digantikan oleh Johny dari naposobulung. Aku bilang, " berhasil program memanggil kembali anak muda kita dari jajan di luaran yah?" "Hahaha, benar sekali itu" katanya. "Lihat sendiri kan penuh sekarang gereja kita dengan anak muda kita.
"Hmmm, mungkin sebaiknya aku tidak terlalu apriori pada kebaktian full band di HKBP. Tapi menurutku pribadi, alangkah baiknya jika kita memakai lagu2 dari KJ, PKJ, NKB, BE dan Supplemen BE. Dan harus diwaspadai, bisa jadi ini hanya femonena sesaat, anak muda membanjiri gereja karena ada iringan full band. Jika kotbah tetap di awang-awang, monoton dan tidak membumi.., anak muda ini pasti akan kembali jajan dan meninggalkan HKBP. Yang apparently, menurut pengamatanku adalah gereja dengan jemaat terutama anak muda paling sering beribadah di luaran. Buktikan sendiri ke Tiberias dan Bethany maupun Glow Fellowship, pasang telinga lebar2, pasti ada saja yang bicara dalam bahasa batak atau berdialek batak disana. Dan tanyakan mereka jemaat mana? Pasti HKBP.

7 comments:

Anonymous said...

halo rebekka,

thanks yah sudah visit, thanks juga tulisanku sudah dicopy ke blogsnya.

aku baru baca komenmu di facebookku. walah walah, partarutung juga yah? satu alumni pula kita SMP 2.

main2lah ke rumah, kalo kamu kenal anak2 tarutung lain, seperti glory, riyanti, dll. keep contact yah. emailku di gerdafs@yahoo.com

Anonymous said...

Thx sdh mampir ke blogku ka,seneng rasanya bertemu dgn anak-anak Tarutung lainnya.GB

Anonymous said...

Salam kenal,
Saya terharu membaca tulisan ini. Saya pribadi tidak memempersoalkan apakah gereja harus pakai musik fullband atau tidak. Asal saja apakah itu tuntutan Tuhan? Karena kepada setiap gereja Tuhan memberikan talenta yang berbeda. Menurut saya kalau fullband diterapkan dengan motivasi agar jemaat jangan lari kegereja lain, itu kurang tepat. Fullband diterapkan tanpa tuntunan Roh Kudus sangat berbahaya, karena yang hidup bukan roh, tapi daging. Akibatnya gereja bisa seperti diskotik.
Dalam kasus lain, saya pernah mengikuti sebuah pesta peradatan pernikahan. Supaya bernuansa kristen, musik dan lagu gondang dibuat lagu rohani.
Dalam hati saya menangis karena lagu Tuhan dinyanyikan dengan tidak layak. Ada yang manortor dengan terhuyung2 karena sudah mabuk, ada yangberjoget sambil berpasangan, dll. Pokoknya nama Tuhan tidak dipermuliakan. Apalagi yang liat banyak juga non-kristen. Apa yang ada dalam hati mereka??! Niat sih baik, tapi apakah itu benar?

Ito rebekka, thanks ya karena telah mencantumkan blok saya di blogroll situs ini. Saya juga sudah mencantumkan blog ini di website saya di http://www.renungan-kristen.4christ.info
Bila ada waktu silahkan mampir kesana, saya akan sambut dengan sukacita.
Thankyou

Rebekka Simanjuntak said...

Thx sudah visit lagi,
Di Ibadah Khusus Muda/i HKBP Jatiwaringin, Kebaktian Fullband hanya sekali dalam sebulan. Ada tidaknya fullband,tidak mempengaruhi kehadiran jemaat.
Yang saya rasakan sendiri, kebisingan fullband kadang bisa mempengaruhi konsentrasi dalam beribadah.
Ya ito, saya akan visit ke blognya.
Thanks.

Anonymous said...

Saya terkesan dengan tulisan ini, mungkin karena saya termasuk jemaat HKBP "klasik" yang fanatik.

Saya melihat sekarang ini HKBP mulai kehilangan jati diri, mulai salah tingkah, mulai kebakaran jenggot, dengan banyaknya ruas HKBP (terutamam muda-mudinya) yang pindah ke gereja lain yang lebih "modern". Banyak gereja HKBP mulai mempertanyakan tata ibadahnya sendiri, sehingga terjadilah tata ibadah yang sepertinya dipaksakan, hanya sekedar ingin memulangkan kembali orang-orang yang sudah beralih ke gereja lain. Ini sesuatu yang sangat menyedihkan, memprihatinkan dan mengkawatirkan.

Saya pikir yang harus dilakukan HKBP adalah:
- Meningkatkan kwalitas para pendeta dalam menyampaikan firman TUHAN kepada Jemaat (kita semua tau bagaimana kualitas dari banyak pendeta HKBP sekarang ini)
- Meningkatkan kepedulian gereja kepada jemaat (gereja adalah pelayan jemaat, bukan sebaliknya)
- Mengembalikan seluruh aparat gereja (pendeta, sintua, parhalado, dll) pada karakter, sikap dan tindakan yang benar-benar mencerminkan kekristenan.
- Meningkatkan kwalitas persekutuan weijk-weijk. Bukan hanya sekedar partangiangan, makan-makan,lalu pulang yang dilakukan sekali seminggu, tetapi harus sampai pada tingkat belajar dan berdiskusi tentang firman Tuhan, memecahkan permasalahan dan kesulitan hidup yang dialami anggota dan lain-lain.

Mungkin tidak mudah melakukan hal-hal di atas, tetapi itu lebih masuk akal dari pada hanya sekedar memaksakan tata ibadah gado-gado instant itu.

Biarlah HKBP benar-benar menjadi gereja, bukan jadi pusat perbelanjaan yang hari ini dihiasi dengan gambar-gambar ketupat dan bedug, besok dihiasi dengan sinterklas dan pohon natal dan besoknya lagi dihiasi dengan barongsai, hanya untuk menarik pengunjung dan meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.

Saya merindukan HKBP yang hikmad dengan alunan poti marende dan mendengarkan bila sebatang jarum dijatuhkan ke lantai.

Horas

Rebekka Simanjuntak said...

Wah, andai saja ada 10% di setiap gereja-gereja HKBP yang berfikiran seperti itu, bukan tidak mungkin HKBP menjadi gereje lokal yang membawa perubahan yang lebih baik bagi setiap aparat gereja dan jemaatnya, hal yang Tuhan kehendaki.
Aku juga merindukan HKBP yang hikmad dengan alunan poti marende dan mendengar bila sebatang jarum dijatuhkan ke lantai, Seperti yang pernah aku rasakan di gereja HKBP Partali Julu Tarutung bertahun-tahun yang lalu. Horas

Gio Master Pulsa said...

HKBP sekarang sudah terlalu maju dan sudah terlalu banyak jemaat mungkin. Dan itu juga yang membuat para pelayannya dibawah menjadi sombong,tinggi hati dan bisa dibilang meleset dari akidah sebenarnya. Apakah HKBP yg membuat peraturannya terlalu ribet atau mungkin pendetanya yg notabene sebagai uluan yg terlalu angkuh.
Kejadiannya saya alami sendiri.
Saya seorang jemaat di HKBP Kulim permai Rest.Simpang padang Dist.Riau pesisir. Jadi karena dimutasi dalam pekerjaan, saya harus pindah domisili ke pekanbaru. Lalu saya meminta surat pindah huria dari HKBP Kulim permai dan diterbitkan. Setelah saya pindah ke pekanbaru, sayapun mendaftar di HKBP Pembatuan Rest.Pekanbaru Dist.Riau namun surat saya tdk diterima oleh pendeta setempat dengan alasan surat pindahnya hrs ditandatangani oleh pendeta resort. Memang iya surat saya hanya ditandatangani oleh pendeta yg melayani di HKBP Kulim permai yang memang masih berstatus pagaran dari HKBP Simpang padang. Okelah saya terima alasannya dan besoknya saya balik lagi ke HKBP Kulim permai utk merubah surat tersebut agar pendeta resortnya langsung yg tanda tangan. Untuk itu saya terpaksa harus menumpang di rumah teman karena suratnya tidak bisa selesai hari itu. Besoknya suratnya selesai dan saya ambil dari pendetanya tp utk mengantisipasi siapatau ditolak lagi, saya minta no hp pendeta yang menandatangani surat itu.
Selanjutnya berketepatan hari jum'at, sayapun buru buru mengantar surat itu ke pendeta HKBP Pembatuan dan berharap bisa ditinting pada hari minggunya. Namun saya terkejut, saya rasa pendetanya memang tidak punya hati nurani, surat saya ditolak lagi dgn alasan no reg jemaat tidak ada tertulis disurat. Katanya dengan angkuhnya, kita beda distrik jadi kalau ada jemaat pindahan dari HKBP juga, harus tertera no reg jemaatnya agar kita tau bahwa memang benar jemaat HKBP.
Dari situ saya sudah mulai tidak nyaman namun saya coba juga membujuk dan meyakinkannya dengan surat yang memang berkopsurat HKBP, tapi tidak berhasil juga. Saya habis pikir dan sayapun menelfon pendeta yang menandatangani surat itu dan berharap kalau mereka sesama pendeta yang berbicara mungkin akan bisa diterima tapi ternyata tidak juga malah saya mendengar mereka berdebat halus dan intinya saya tetap tidak bisa diterima di HKBP yang baru. Kejadian itu membuat saya frustasi dan bertanya tanya, kemana saya harus bergeraja?
Sampai 9 bulan kami sekeluarga tidak pernah ke gereja. Sampai akhirnya kami diarahkan teman untuk masuk ke HKI saja yang memang syarat masuknya lebih mudah. Pikir punya pikir, berunding dengan istri akhirnya kami putuskan masuk ke HKI saja walaupun agak berat dihati. Wajarlah ya kalau agak berat karena memang dari leluhur saya semua di HKBP. Saya lahir di HKBP, tumbuh besar di HKBP, tarpasupasu di HKBP, 2 anak saya juga dibaptis di HKBP. Tapi begitulah mungkin HKBP era modern sekarang. Belakangan saya juga sudah mulai menerima bahwa memuliakan Tuhan tidak harus di HKBP.
Mudah mudahan tulisan saya ini bisa di lihat, dibaca dan kalau bisa ditindaklanjuti oleh petinggi petinggi HKBP, agar mereka tau perilaku sebagian pendetanya dibawah. Dan saya yakin bukan saya saja yang pernah mengalami hal seperti itu, menjadi korban dari pendeta berwawasan dangkal.
Terima kasih admin dan saya minta maaf kalau ada salah salah dalam berkomentar.